✔ Menghapus Sistem Apartheid Di Sekolah
Pemisahan antara siswa "pintar dan bodoh" di sekolah yakni sebuah diskriminasi yang sewajarnya cukup menciptakan prihatin. |
Baca juga: Setiap Anak Terlahir Unik, Ini Ciri Anak Berbakat
Banyak didapati guru lebih menaruh perhatian kepada siswa yang dianggapnya arif dengan alasan bisa menguasai bahan pelajaran yang diajarkan. Bahkan tidak ketinggalan pula sanjungan pun meluncur kepada siswa yang bersangkutan. Begitu sebaliknya, kepada anak yang kurang begitu memahami atas apa yang diajarkan cenderung dibiarkan tanpa diberi perhatian khusus. Lebih ekstrem lagi, guru mengeneralisasikan ketidakpahaman siswa di semua mata pelajaran dan menganggap siswa tersebut tidak mempunyai potensi apapun.
Wajar memang, apabila seorang guru menaruh perhatian secara lebih kepada siswa yang bisa memahami bahan pelajaran. Akan tetapi semestinya dibarengi pula dengan memperlihatkan perhatian kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Lebih pentingnya ialah meyakini bahwa setiap siswa mempunyai potensi atau talenta yang sanggup berkembang untuk masa depannya.
Anggapan guru dengan penyematan arif dan udik terhadap siswa-siswanya sangat umum terjadi sampai kini. Bukankah Allah SWT telah memperlihatkan kelebihan pada setiap insan dalam bidang tertentu?. Jika anggapan udik dan arif terus tersemat dalam paradigma para pendidik di sekolah (guru), bukankah mengesampingkan fitrah insan yang diberikan Sang Pencipta?.
Pertanyaan di atas agaknya perlu direnungkan dan dijawab oleh para guru dengan pendekatan spiritual. Anggapan arif dan udik terhadap siswa dengan berdasar pada kemampuan perembesan bahan pelajaran di sekolah tanpa memandang pada aspek kausalitas (sebab akibat) sangatlah tidak pantas. Tanpa disadari pula, hal tersebut membunuh potensi yang terpendam pada diri siswa. Satu dari dua anggapan tersebut yang menjadi aksentuasi pada ruang goresan pena ini yakni anggapan bodoh. Kata bodoh, ibarat yang diketahui bersama yakni kata bernuansa negative yang disematkan karena ketidakbisaan. Akan tetapi, kata tersebut berdasarkan penulis sangat tidak etis dipergunakan di dunia pendidikan yang sangat dihormati itu.
Ketidakpahaman seorang siswa terhadap suatu bahan pelajaran bisa dikarenakan dua factor secara garis besar. Pertama, sangat mungkin guru yang mengajarnya memakai cara/metode yang memang tidak cocok bagi siswa yang bersangkutan. Guru yang mengajar suatu konsep bahan dianggap terlalu sukar dipahami sehingga pemahamannya tidak masuk. Oleh karena itu, seorang guru memang selayaknya bisa memahami kondisi psikis siswa dalam belajar. Membuka ruang kesempatan untuk bertanya dengan pendekatan tertentu secara leluasa terhadap siswa sangat ditekankan. Apabila hal ini terjadi, tentunya guru tidak secara gegabah melayangkan ungkapan udik terhadap siswa secara gamblang.
Kedua, secara fitrah insan mempunyai kelebihan pada bidang tertentu. Hanya saja, kelebihan yang menjadi potensinya tidak terlejitkan. Sebagai contoh, ada seorang siswa yang kesulitan dalam pelajaran Matematika, namun ia mempunyai kelebihan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Potensi dalam bahasa Indonesia itulah yang perlu diapresiasi dan dihargai oleh guru. Ada pula yang kurang dalam bidang pelajaran yang menuntut kemampuan kognitif, namun mempunyai potensi dalam bidang olahraga. Dengan demikian, sanggup ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap siswa niscaya mempunyai kelebihan pada bidang tertentu.
Howard Gardner, seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard, menyodorkan suatu teori yang sanggup mengubah dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Gardner menemukan teori tersebut yang kini mulai dikenal yakni Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences). Sejatinya, setiap siswa mempunyai kecerdasan pada bidangnya masing-masing. Kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner terbagi menjadi sembilan bidang kecerdasan, yakni Musikal, Moral, Naturalis (Cerdas Alam), Intrapersonal (Cerdas Diri), Linguistik (Cerdas Bahasa), Interpersonal (Cerdas Bergaul), Spasial-Visual (Cerdas Gambar dan Ruang), Kinestetis (Cerdas Gerak) dan Matematis-Logis (Cerdas Angka dan Logika).
Baca juga: Teori Multiple Intelegensi (Kecerdasan Majemuk)
Teori tersebut di atas semestinya membuka kesadaran bagi para guru yang masih memasang paradigma anggapan siswa arif dan bodoh. Munif Chatib (2013) lebih memandang, letak kesalahan guru dan atau sekolah terhadap siswanya ialah tidak memperhatikan potensi-potensi lain yang sekiranya terpendam pada diri siswa. Nilai kuantitas dari hasil tes atau ujian yakni patokan yang terlalu diagung-agungkan oleh kebanyakan sekolah dalam mengukur keberhasilan dalam belajar. Alhasil, angka seakan-akan menjadi buruan yang paling dicari oleh para pengenyam pendidikan. Tentulah hal tersebut mengkaburkan hakikat pendidikan itu sendiri.
Alangkah baiknya, apabila guru yang mendapati siswanya yang mengalami kesulitan terhadap suatu konsep bahan pelajaran didekati dan diberi instruksi serta mencoba mengenal psikisnya sehingga ditemukan huruf belajarnya. Perhatian yang demikian akan terjadi suatu kedekatan yang sangat mungkin siswa bersangkutan merasa terdorong meningkatkan belajarnya. Jikalau, siswa memang benar-benar mengalami kesulitan pada bidang pelajaran tertentu karena bukan bidang kecerdasannya, janganlah pribadi mencap bodoh. Segenap guru di suatu sekolah selayaknya mencari bidang kecerdasan masing-masing siswanya. Terpenting ialah anggaplah semua siswa arif sesuai dengan bidangnya. Jika paradigma demikian terbangun maka segera terwujud pendidikan yang berkualitas. Upaya untuk membangun bangsa biar lebih maju pun segera terwujud lewat pendidikan.
*) Ditulis oleh Usep Setyawan, S.Pd.I. Guru di SDIT Bina Anak Sholeh Cilacap
Belum ada Komentar untuk "✔ Menghapus Sistem Apartheid Di Sekolah"
Posting Komentar