✔ Beberapa Gagasan Wacana Pendidikan Akal Pekerti

Pendidikan kecerdikan pekerti tidak hanya menyentuh otak, tetapi terutama menyentuh perasaan, menyentuh “hati“.

Pendidikan kecerdikan pekerti yang berhasil ialah pendidikan yang berhasil menciptakan anak merasa salah pada waktu beliau berbuat salah, sekalipun tidak ada orang lain yang menyalahkan perbuatannya tadi

Peraturan MENDIKBUD No. 21 Tahun 2015 untuk menerapkan pendidikan kecerdikan pekerti di sekolah-sekolah mulai tahun pelajaran 2015/2020 merupakan keputusan yang sangat bijaksana. Karakter menjadi kunci berhasilnya upaya pendidikan membangun peradaban. Salah satu langkah mencapai huruf yang baik ialah menumbuhkan kecerdikan pekerti siswa di sekolah. Masalahnya jangan hingga penilaian guru terhadap pendidikan kecerdikan pekerti disamakan dengan penilaian yang berlaku menyerupai penilaian mata pelajaran di sekolah.

Mengapa demikian ?

Karena secara pedagogis “ pendidikan kecerdikan pekerti “ lain wataknya dari pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah selama ini, menyerupai pelajaran-pelajaran bahasa, matematika, pengetahuan alam, dan sebagainya. Dalam sistem penilaian kita kini ini, kemajuan siswa kita penilaian menurut penguasaan mereka terhadap pengetahuan. Ini berlaku dari penilaian dalam bentuk ulangan biasa hingga ke penilaian dalam bentuk Ujian Nasional.

Dalam pendidikan kecerdikan pekerti yang menjadi ukuran bukan pengetahuan perihal yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, tetapi kepatuhan kepada apa yang oleh masyarakat dianggap benar atau salah tadi. Dalam tingkat kedewasaan yang lebih tinggi, kepatuhan kepada norma-norma perihal yang benar dan yang salah tadi tidak lagi ditentukan oleh ukuran-ukuran yang ditentukan masyarakat, tetapi oleh ukuran-ukuran yang ada dalam hati nurani diri.

Makara pendidikan kecerdikan pekerti intinya ialah bimbingan untuk menyebarkan hati nurani. Pendidikan kecerdikan pekerti bukan pelajaran perihal sifat-sifat insan yang nyaris tepat dipertentangkan dengan insan yang jahat. Pendidikan kecerdikan pekerti tidak hanya menyentuh otak, tetapi terutama menyentuh perasaan, menyentuh “hati“. Ketajaman otak memang diharapkan untuk memahami norma-norma perihal kebenaran dan kebohongan, perihal kebaikan dan kezaliman, tetapi otak saja tidak cukup. Yang lebih penting daripada otak atau pengetahuan ialah kepekaan terhadap norma-norma atau nilai-nilai.

Baca juga: Peran Guru dalam Penumbuhan Budi Pekerti

Pendidikan kecerdikan pekerti yang berhasil ialah pendidikan yang berhasil menciptakan anak merasa salah pada waktu beliau berbuat salah, sekalipun tidak ada orang lain yang menyalahkan perbuatannya tadi. Pada sisi lain, pendidikan kecerdikan pekerti yang berhasil akan menciptakan anak merasa terganggu, setiap kali ia menyaksikan pelanggaran norma-norma oleh seseorang, sekalipun pelanggaran tadi tidak merugikan dirinya.

Pertumbuhan hati nurani menyerupai ini tidak sanggup dinilai dengan angka. Pertumbuhan hati nurani ini tidak sanggup diketahui melalui pertanyaan-pertanyaan perihal apa yang benar dan apa yang salah. Pertumbuhan hati nurani atau huruf hanya sanggup diketahui melalui pengamatan, melalui observasi. Kumpulan dari pengamatan-pengamatan mengenai sikap anak inilah yang akan sanggup menawarkan citra mengenai ada-tidaknya, atau besar-kecilnya pertumbuhan hati nurani pada siswa.

Makara sistematika unik meng-evaluasi kemajuan siswa dalam pendidikan kecerdikan pekerti berbeda sama sekali dengan sistematika untuk meng-evaluasi kemajuan siswa dalam mata pelajaran yang mengutamakan pengembangan kemampuan kognitif semata-mata. Pendidikan kecerdikan pekerti merupakan mata pelajaran yang mengutamakan pelatihan kekuatan konatif, kekuatan membina tekad, dan kepekaan afektif, kepekaan terhadap nilai-nilai.

Saya sependapat dengan Mendikbud, bahwa pertumbuhan kecerdikan pekerti atau tabiat siswa harus dinilai. Sungguh sangat berbahaya membesarkan seorang siswa menjadi anak yang sangat cerdas, tetapi dalam dirinya dibiarkan berkembang tabiat seorang kriminal. Ini tidak sanggup dibiarkan. Harus ada keserasian antara perkembangan tabiat dengan perkembangan pengetahuan. Yang saya persoalkan ialah cara menilai keberhasilan siswa dalam pendidikan kecerdikan pekerti. Kelulusan anak dalam ujian tabiat atau kecerdikan pekerti harus dilakukan dengan cara yang berbeda dengan memilih kelulusan dalam Ujian Nasional.

Pendidikan kecerdikan pekerti berusaha membimbing anak untuk memahami, menerima, serta mentaati nilai-nilai etis, yaitu nilai-nilai perihal yang benar dan yang salah. Disamping itu bawah umur juga harus kita bimbing juga untuk mengenal dan menghayati nilai-nilai estetis, yaitu nilai-nilai perihal yang indah dan yang buruk, serta nilai-nilai synnoetis, yaitu nilai-nilai mengenai keserasian hubungan antar-pribadi ( inter-subject relationships).

Kepekaan dalam nilai-nilai synnoetis ini akan membentuk dalam diri anak kepekaan sosial. Makara pada kesudahannya insan yang berbudi, insan yang berwatak atau berkarakter ialah insan yang berani membela kebenaran, bisa mencicipi keindahan, dan bersedia menghargai insan lain, betapa pun bedanya orang lain tadi dengan dirinya sendiri.

Pendidikan kecerdikan pekerti ialah pendidikan perihal nilai-nilai. Dan inilah yang kita abaikan selama ini di sekolah-sekolah kita.

*) Ditulis oleh Anwar Mulyana, M.Pd. Kepala SDN 2 Nagri Kidul Purwakarta

Bagikan Artikel ini