✔ Landasan Filosofis Pendidikan
sumber |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat diharapkan dalam menentukan titik pola ataupun landasan dalam kehidupan manusia, hal ini mengakibatkan insan harus mempunyai berbagai pemahaman yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Karena kalau terjadi kesalahan pahaman konsep wacana pendidikan, maka akan menjadikan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Namun, pandai balig cukup akal ini masyarakat kebanyakan lebih mengutamakan praktek secara eksklusif tanpa mengetahui konsep-konsep ataupun pemahaman yang terdapat dalam landasan filosofi pendidikan. Oleh lantaran itu, kami mencoba menguraikan landasan-landasan yang terdapat dalam filosofi pendidikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Guna menghindari meluasnya masalah, maka penulis merumuskan duduk kasus sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan?
2. Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme?
3. Apa sajakah konsep Filsafat umum yang ada?
c. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini yaitu untuk:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud denganlandasan filosofi pendidikan.
2. Menjelaskan maksud dari landasan filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme.
3. Mengetahui konsep dari filsafat umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan Filosofis Pendidikan
Para pendidik perlu mempunyai landasan filosofis pendidikan, ada dua alasan yang pertama, lantaran pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka pendidikan diharapkan suatu pola atau titik tolak yang bersifat presektif atau normatif pula. Hal tersebut antara lain sanggup bersumber dari agama, hukum, dan filsafat. Landasan filsafat pendidikan yang bersifat presektif atau normatif akan menandakan wacana apa yang seharusnya ada di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan yang bersifat parsial dan deskriptis saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Hal tersebut sanggup diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Di dalam khasanah teori pendidikan terdapat banyak sekali aliran filsafat pendidikan. Antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dll. Namun kita mempunyai filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang berdsarkan pancasila. Berbagai macam filsafat pendidikan perlu kita pelajari namun hendaknya pendidikan yang diselenggarakan tetap berdasarkan pancasila. Dari pemahaman banyak sekali aliran filsafat pendidikan sanggup membantu kita supaya tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Akan tetapi kalau tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, kita pun sanggup mengambil pesan yang tersirat dari banyak sekali aliran filsafat pendidikan lain, dalam rangka memperkooh landasan filosofis pendidikan kita. Hal ini diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep wacana pendidikan yang akan menjadikan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
A. Filsafat dan Landasan Filosofis Pendidikan
1. Filsafat
a. Definisi Filsafat
Filsafat (philosophy) berdasarkan bahasa Yunani Kuno berasal dari dua kata, yaitu philein (cinta) dan soghia (kebijaksanaan). Sedangkan secara etimologis filsafat yaitu cinta kepada kebijaksanaan (love of wisdom) pendapat ini dikemukakkan oleh Dagobert D. Runes dalam buku Waini Rasyidin (2012: 76). Adapun secara operasional filsafta mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau pemikiran). Filsafat kalau ditinjau secara leksikal berarti perilaku hidup atau pandangan hidup. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Socrates Pidrata (2009: 76) mengajarkan bahwa insan harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Sedangkan berdasarkan Plato kebenaran hanya ada di alam inspirasi yang bisa diselami dengan akal, sedang Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman panca indera.
Menurut Burhanuddin (2009: 156) filsafat bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, yang otonom, tidak berdasarkan kodrat nalar budi insan melainkan tergantung dan ditentukan isinya oleh agama.
b. Karakteristik Filsafat
Setelah diidentifikasikan ada enam hal berkenaan dengan karakteristik filsafat, yaitu objek yang dipelajari filsafat (objek studi), proses berfilsafat (proses studi), tujuan berfilsafat, hasil berfilsafat (hasil studi),penyajian dan sifat kebenarannya.
Menurut Waini Rasyidin (2012: 78) objek studi filsafat yaitu sesuatu yang mencakup sesuatu yang telah tergelar dengan sendirinya (ciptaan Tuhan) maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi manusia.
Sedangkan berdasarkan Surajiyo(2008: 5) objek filsafat yaitu sesuatu yang merupakan materi dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan niscaya mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material filsafat yaitu suatu materi yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga yaitu hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu, objek material mencangkup apa saja baik hal yang konkret ataupun hal yang abstrak. Sedangkan objek formal filsafat yaitu sudut pandangan yang ditunjukan pada materi dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu diorot. Objek formal suatu ilmu tidaj hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada dikala yang sama sanggup membedakannya dari bidang-bidang lain.
Proses studi atau proses berfilsafat dimulai dengan ketakjuban, ketidakpuasan hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Dalam berfilsafat para filsuf tidak berpikir dengan bertolak kepada perkiraan yang telah ada, sebaliknya mereka menguji asumsi yang telah ada. Selain itu, berpikir filosofis atau berfilsafat bersifat kontemplatif, artinya berpikir untuk mengungkap hakikat dari sesuatu yang dipikirkan, atau berpikir spekulatif yakni berpikir melampaui fakta yang ada untuk mengungkap apa yang ada di balik yang nampak. Hal ini sanggup disebut juga berpirir radikal yaitu berpikir hingga kepada akar dari sesuatu yang dipertanyakan hingga terungkap hakikat dari apa yang dipertanyakan tersebut. Untuk mengungkap hakikat para filsuf berpikir secara sinoptik, yaitu berpikir dengan pola yang bersifat merangkum keseluruhan wacana apa yang sedang dipikirkan dan dipertanyakan. Para filsuf berpikir melibatkan seluruh pengalaman insaninya sehingga bersifat subjektif. (Waini Rasyidin, 2012: 78)
Para filsuf berpikir sedemikian rupa mengenai apa yang dipertanyakan tidak lain bertujuan supaya memperoleh kebenaran. Hasil berfilsafat tidak lain yaitu sistem teori, sistem pikiran atau konsep yang bersifat normative atau persektif dan individualistik-unik. Hasil berfilsafat normative atau persektif artinya bahwa sistem gagasan filsafat menandakan wacana apa yang dicita-citakan atau apa yang seharusnya. Sedangkan individualistik-unik mempunyai arti bahwa sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan berbeda dengan sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Oleh alasannya itu kebenaran filsafat bersifat subjektif-paralelistik. (Waini Rasyidin, 2012: 79).
c. Sistematika/ Cabang-Cabang Filsafat
Menurut Redja Mudyahardjo (Waini Rasyidin, 2012: 79) filsafat sanggup diklasifikasikan ke dalam: 1. Filsafat Umum atau murni, 2. Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan objek yang dipelajarinya.
Cabang filsfat umum terdiri atas:
1. Metafisika yang meliputi: 1. Metafisika Umum atau Ontologi, dan 2. Metafiskia khusus yang mencakup cabang: a. Kosmologi, b. Teologi, c. Antropologi.
2. Epistemologi
3. Logika
4. Aksiologi yang mencakup cabang: 1. Etika dan 2. Estetika.
Adapun cabang filsafat khusus antara lain: Filsafat Hukum, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan.
d. Aliran filsafat
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa karakteristik berpikir para filsuf yang bersifat kontemplatif dan subjek telah menghasilkan sistem gagasan yang bersifat individualstik-unik. Namun demikian. Dalam peta perkembangan sistem pikiran filsafat para hebat filsafat menemukan kesamaan dan konsistensi pikiran dalam bentuk beberapa aliran pikiran dari para filsuf tertentu. Denagn demikian maka dikenal dengan adanya beberapa aliran filsafat, yaitu: 1. Idealisme, 2. Realisme, 3. Pragmatisme, dsb.
2. Landasan Filosofis Pendidikan
a. Definisi Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis pendidikan yaitu seperangkat perkiraan yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
b. Struktur Landasan Filosofis Pendidikan
Sesungguhnya landasan filosofis pendidikan merupakan suatu sistem gagasan wacana pendidikan yang dideduksi atau dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat umum yang dianjurkan oleh aliran filsafat tertentu.
Maka sanggup kita pahami bahwa terdapat relasi implikasi antara gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan-gagasan pendidikan. Hal ini sanggup divisualisasikan sebagai berikut:
c. Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis pendidikan berisi wacana gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau presektif. Landasan filosofis pendidikan dikatakan bersifat normatif atau persektif alasannya landasan filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep wacana pendidikan apa adanya (faktual), melainkan berisi wacana konsep-konsep yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal), yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan tiitk tolak dalam rangka praktek pendidikan dan studi pendidikan.
d. Aliran Dalam Landasan Filosofis Pendidikan
Sebagaimana halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan filsafat pendidikan juga terdapat banyak sekali aliran pikiran. Sehubungan dengan ini, maka dikenal dengan adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dsb.
B. Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme
Menurut karya Callahan dan Clark (1983), Edward J. Power (1982), serta Kneller (1971), yang terdapat dalam buku Landasan Pendidikan (2012: 81-84) apabila kita kaji maka sistem gagasan atau perkiraan pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme sanggup dirangkum uraian dibawah ini.
1. Idealisme
a. Konsep Filsafat Umum Idealisme
Metafisika: Para filosof Idealisme mengkalim bahwa realitas hakikatnya bersifat spiritual. Manusia: Manusia yaitu makhluk spiritual. Manusia yaitu makhluk berpikir, mempunyai tujuan hidup dan hidup dalam dunia dengan satu aturan moral yang jelas. Pikiran insan diberkahi kemampuan rasional dank arena itu menentukan pilihan (bebas).
Epistemologi: Pengetahuan yang diperoleh dengan cara mengingat kembali atau berpikir dan melalui intuisi. Kebenaran mungkin diperoleh insan yang mempunyai pikiran yang baik, kebanyakan orang hanya hingga pada tingkat pendapat. Uji kebenaran pengetahuan dengan uji koherensi atau konsistensi.
Aksiologi: Manusia diperintah oleh nilai moral imperative yang bersumber dari realitas yang absolute. Nilai bersifat absolute dan tidak berubah.
b. Implikasi Terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pengembangan karakter, pengembangan talenta insani, dan kebijakan social.
Kurikulum atau Isi Pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi berdasarkan mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran (subject centered).
Metode Pendidikan: Metode yang diutamakan yaitu metode dialektik, namun demikian tiap metode yang mendorong berguru sanggup diterima, dan cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis untuk belajar.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Pendidik bertanggung jawab untuk membuat lingkungan pendidikan bagi penerima didik. Pendidik harus unggul supaya sanggup menjadi teladan, baik dalam hal moral maupun intelektual. Sedangkan penerima didik bebas menyebarkan kepribadian dan bakat-bakatnya. Adapun orientasi pendidikan Idealisme yaitu esensialisme.
2. Realisme
a. Konsep Filsafat Umum Realisme
Metafisika: Para filosof Realisme umumnya memandang dunia dalam pengertian materi yang hadir dengan sendirinya, dan tertata dalam hubungan-hubungan yang teratur di luar camour tangan manusia.
Manusia: Hakikat insan terletak pada apa yang dikerjakannya. Pikiran atau jiwa merupakan suatu organism yang sangat rumit yang bisa berpikir. Manusia bias bebas atu tidak bebas.
Epistomologi: Pengetahuan diperoleh insan melalui pengalaman dan pengunaan akal. Dunia yang hadir tidak tergantung pada pikiran, atau pengetahuan insan tidak sanggup mengubah esensi realitas (principle of independence). Uji kebenaran pengetahuan didasarkan atas teori korespondensi.
Aksiologi: Tingkah laris insan diatur oleh aturan alam dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebijaksanaan yang telah teruji.
b. Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan bertujuan untuk pembiasaan diri dalam hidup dan bisa melakukan tanggung jawab social.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum harus bersifat komprehensif yang berisi sains, matematika, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, serta nilai-nilai. Kurikulum mengandung unsur-unsur pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi berdasarkan mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran (subject centered).
Metode: Metode hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama bagi penganut Realisme.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Pendidik yaitu pengelola acara berguru mengajar (classroom is teacher-centered). Pendidik harus menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar, dan mempunyai kewenangan menuntut prestasi siswa. Sedangkan penerima didik berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada aturan dan berdisiplin. Adapun orientasi pendidikan Realisme yaitu esensialisme.
3. Pragmatisme
a. Konsep Filsafat Umum Pragamatisme
Metafisika: Pragmatisme anti metafisika. Suatu teori umum wacana kenyataan tidaklah mungkin dan tidak perlu. Kenyataan yang gotong royong yaitu kenyataan fisik, plural dan berubah (becoming).
Manusia: insan yaitu hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial. Setiap orang lahir tidak dewas, tidak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial.
Epistomologi: Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman dan berpikir (scientific method). Pengetahuan yaitu relative. Pengetahuan yang benar yaitu yang mempunyai kegunaan dalam kehidupan (instrumentalisme).
Aksiologi: Ukuran tingkah laris individual dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Jika jadinya mempunyai kegunaan tingkah laris tersebut yaitu baik (eksperimentalisme), lantaran itu nilai bersifat relatif dan kondisional.
b. Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan yaitu pertumbuhan sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung terus menerus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar dan tidak ada tujuan final pendidikan. Tujuan pendidikan yaitu memperoleh pengalaman yang mempunyai kegunaan untuk bisa memecahkan masalah-masalah gres dalam kehidupan individu maupun sosial.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, tidak memisahkan pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum mungkin berubah, warisan-warisan sosial dari masa kemudian tidak menjadi focus perhatian. Pendidikan terfokus pada kehidupan yang baik pada dikala itu dan masa tiba bagi individu, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Kurikulum bersifat demokratis.
Metode: Mengutamakan metode pemecahan masalah, penyelidikan, dan penemuan.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Peranan pendidik yaitu memimpin dan membimbing penerima didik berguru tanpa ikut campur terlalu atas minat dan kebutuhan siswa. Sedangkan penerima didik berperan sebagai organisme yang rumit yang bisa tumbuh.
Orientasi pendidikan Pragmatisme yaitu progresivisme.
C. Landasan Filsafat Pendidikan Nasional: Pancasila
Pancasila yaitu dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud yaitu Pancasila yang rumusannya termaktub dalam “Pembukaan” UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena Pancasila yaitu dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga yaitu dasar pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan pasal 2 Undang-Undang RI No. 23 tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” yang menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional yaitu pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Mengingat pancasila yaitu falsafah hidup bangsa, maka bangsa Indonesia hakikatnya mempunyai landasan filosofis pendidikan tersendiri dalan sistem pendidikan nasionalnya, yaitu falsafah pendidikan berdasarkan Pancasila. (Landasan Pendidikan, 2012: 84)
1. Konsep Filsafat Umum
a. Metafisika
Pidarta (Callahan, 1983:77) menyebutkan bahwa metafisika ialah filsafat yang meninjau wacana hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. dalam kaitanya insan ada dua pendangan yaitu:
1) manusia hakekatnya yaitu spiritual. yang ada yaitu jiwa atau roh, yang lain yaitu semu. pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. pendidikan yaitu untuk mengaktualisasi diri.
2) manusia yaitu organism materi. pendidikan yaitu untuk hidup. pendidikan berkewajiban membuat kehidupan insan menjadi menyenangkan.
Hakekat realitas. Bangsa Indonesia meyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (mahluk) Tuhan yang Maha Esa. Tuhan yaitu sumber pertama dari segala yang ada, ia yaitu alasannya pertama dari segala sebab, tetapi ia tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang lainnya; dan ia juga yaitu tujuan final segala yang ada. (Kurniasih, 2012,:84-85)
Di alam semesta bukan hanya ralitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas yang bersifat fisik dan atau non-fisik tampak dalam pluralitas phenomena alam semesta sebagai keseluruhan yang integral. Terdapat alam fana dengan segala isi, nilai, norma atau hukum di dalamnya. Alam tersebut yaitu tempat dan sarana bagi insan dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melakukan kiprah hidup untuk mencapai tujuan hidupnya. Di balik itu, terdapat alam final yang kekal dimana sesudah mati insan akan diminta pertanggung balasan dan mendapatkan imbalan atas pelaksanaan kiprah hidup dari Tuhan YME. Dalam uraian di atas tersurat dan tersirat makna adanya realitas yang bersifat kekal dan realitas yang bersufat fana.
Termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kurniasih (2012,:85) menyampaikan bahwa hakikat hidup bangsa Indonesia yaitu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan usaha yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapao dan mengisi kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut yaitu: (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur; (2) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (3) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melakukan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan social. Dari pernyataan di atas sanggup dipahami bahwa realitas juga tudak bersifat given (terberi) dan final, melainkan juga “berwujud” sebagaimana kita insan dan semua anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
Hakekat manusia. Manusia yaitu mahluk Tuhan YME. Manusia yaitu kesatuan tubuh rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, mempunyai kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness), mempunyai banyak sekali kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta mempunyai tujuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk bisa beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan untuk berbuat baik, namun di samping itu lantaran hawa nafsunya insan pun mempunyai kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, insan mempunyai potensi untuk: bisa berpikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan berkarya (karya). Adapun dalam eksistensinya insan berdimensi individualitas atau personalitas, sosialitas, kalutural, mora;itas dan religious. Semuanya itu menandakan dimensi interaksi atau komunitas (vertikat atau pun horizontal), historistas, dan dinamika dalam keberadaan manusia.
Kurniasih (2012,:86) Mengatakan Pancasila mengajarkan bahwa eksistensial insan bersifa mono-pluralis tetapi bersifat integral. Artinya bahwa insan yang serba dimensi itu hakikatnya yaitu satu kesatuan utuh. Pancasila menganut azas Ketuahanan Yang Maha Esa insan diyakini sebagai makhluk Tuhan YME, menerima panggilan kiprah dari-Nya, dan harus mempertanggung jawabkan segala amal pelaksanaan tugasnya terhadap Tuhan YME (aspek relogius); azas mono-dualisme: insan yaitu kesatuan badani-rohani, ia yaitu pribadi atau individual tetapi sekaligus insan social; azas mono-pluralisme meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, dsb, tetapi yaitu satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka Tunggal Ika); azas Nasionalisme: dalam eksistensinya insan terikat oleh ruang dan waktu, maka ia mempunyai relasi dengan daerah, zaman, dan sejarahnya yang di ungkapkan dengan sikapnya menyayangi tanah air, nusa, dan bangsa; azas internasionalisme: insan Indonesia tidak meniadakan keberadaan insan lain baik sebagai pribadi , kelompok atau bangsa lahir; azas demokrasi: dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi dasr relasi antara warga Negara, dan relasi antara warga Negara dan Negara dan sebaliknya; azas keadilan social: dalam merealisasikan diri insan harus senantiasa menjunjung tinggi tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil pembudayaan (BP-7 Pusat, 1995).
b. Epistimologi
Surajiyo (2008:55) menyimpulkan dalam bukunnya bahwa epistimologi yaitu kepingan filsafat yang membicarakan wacana terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. dan senada dengan Surajiyo, Pidarta (2009:77-78) menyampaikan bahwa Epistimologi ialah filsafat yang membahas wacana pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
1) Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
a) Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan table
b) Common sense, yang ada pada sopan santun dan tradisi.
c) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
d) pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
e) pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan penngetahuan secara ilmiah
2) Ada empat teori kebenaran yaitu:
a) Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisiten dengan kebenaran umum.
b) Koresponden, sesuatu akan benar bila ia sempurna dengan fakta yang dijelaskan.
c) Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya member manfaat bagi kehidupan.
d) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3) Logika ialah filsafat yang membahas wacana cara insan berfikir dengan benar.
4) Etika ialah filsafat ialah yang menguraikan wacana prilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta fatwa agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini.
Hakekat pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari sumberpertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui utusan-Nya (berupa wahyu) maupun melalui banyak sekali hal yang digelarkan-Nya di alam semsta termasuk hokum-hukum yamg terdapat di dalamnya. Manusia sanggup memperoleh pengetahuan melalui keimanan/kepercayaan, berpilar pengalaman, empiris, penghayatan, dan intuisi.
Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan keagamaan/revaled knowledge yang dimani), tetapi ada pula yang bersigat relative (seperti dala pengetahuan ilmiah sebagau hasil insan melalui riset, dsb)
Pengetahuan yang bersifat mutlak (ajaran agama/wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative (fisafat, sains dll) diakui kebenarannya melalui uji konsistensi logi ide-idenya, kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya bagi kesejahteraan mengacu pada kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.
c. Aksiologi
Hakikat Nilai. Simber pertama segala nilai hakikatnya yaitu Tuhan YME. Karena insan yaitu makhluk Tuhan, pribadi/individual dan sekaligus insan social, maka hakik, ahat nilai diturunkan dari Tuhan YME. Masyarakat dan individu.
2. Implikasi terhadap Pendidikan
Pendidikan yaitu usaha sadar dan bersiklus untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran supaya penerima didik secara aktif mengembanngkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keteramilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 wacana sisitem pendidikan Nasional).
Implikasi konsep Pendidikan berdasarkan Pidarta ( 2009:106-108) yang di bawah ini yaitu terbatas pada penjabaran sila-sila pancasila.
a. Filsafat pendidikan Indonesia perlu segera diwujudkan supaya pendidikan bercorak Indonesia lebih gampang dibentuk.
b. Peranan dan pengembangan sila-sila Pancasila pada diri penerima didik pada hakikatnya yaitu pengembangan afeksi.
c. Pendidikan pancasila dan pendidikan agama tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi satu dengan yang lain.
d. Materi pendidikan afeksi selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral pancasila dan fatwa agama, sebaiknya dilengkapi dengan nila-nilai dan sopan santun istiadat yang masih hidup di masyarakat Indonesia serta budi pekerti luhur yang tetap dijunjung di bumi Indonesia ini.
e. Dalam menyebarkan materi pendidikan afeksi, sangat mungkin sumber materi itu berasaldari luar negeri.
f. Dalam rangka pengembangan afeksi penerima didik, ada baikanya kondisi ke arah itu sehingga itu sengaja diciptakan, antara lain dengan menghadirkan jauh lebih banyak budaya bangsa sendiri untuk menetralkan imbas budaya aneh yang memang sulit di bendung dalam kurun informasi dan global ini.
Sebagai usaha sadar dan terencana, pendidikan tentunya harus mempunyai dasar dan tujuan yang jelas, sehingga dengan demikian baik isi pendidikan maupun cara-cara pembelajaran dipilih, diturunkan akan dilaksanakan dengan mengacu kepada dasar dan tujun pendidikan yang telah di tetapkan. Selain itu, pendidikan bukanlah prpses pembentukan penerima didik untuk menjadi orang tertentu sesuai kehendak sepihak dari pendidik. Karena insan (peserta didik) hakikatnya yaitu pribadi yang menentukan potensi dan mempunyai keinginan untuk menjadi dirinya sendiri., mala upaya pendidikan harus dipandang sebagai upaya derma dan memfasilitasi penerima didik dalam rangka menyebarkan potensi dirinya. Upaya pendidikan yaitu pemberdayaan penerima didik. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai upaya dan tujuan yang bersifat individualistiksemata, alasannya sebagaimana telah dikemukakan bahwa kehidupan insan itu multi dimensi dan merupakan kesatuan yang integral.
Selain hal di atas, dimensi Hitoritas, dinamika, perkembangan kebudayaan dan kiprah hidup yang diemban insan mengimplikasikan bahwa pendidikan harus diselenggarakan sepanjang hayat. Pendidikan selayaknya diselenggarakan semenjak dini, pada setiap tahap perkembangan hingga final hayat. Sebsb itu pendidikan hendaknya diselenggarakan baik pada jalur pendidikan informal, formal maupun nonformal yang sanggup saling melengkapi dan memperkaya.
Tujuan pendidikan. Pandangan pancasila wacana hakekat ralitas, manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi penerima didik supaya menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
kurikulum pendidikan disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia dengan memperhatikan:
a) peningkatan iktikad dan takwa
b) peningkatan ahlak mulia
c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat penerima didik
d) keragaman potensi kawasan dan lingkungan
e) tuntutan pembangunan kawasan dan nasional
f) tuntutan dunia kerja
g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
h) agama
i) dinamika perkembangan global, dan
j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Berbagai metode pendidikan yang ada merupakan banyak sekali alternative untuk diaplikasikan. pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, hakikat insan dan penerima didik, karakteristik isi/materi pendidikan, dan akomodasi alat bantu pendidikan yang tersedia. peranan pendidikan dan penerima didik tersurat dan tersirat dalam semboyan yang sering kita dengar “ing ngarso sing tulodo” artinya pendidika harus memperlihatkan atau menjadi teladan bagi pesrta didiknya; “ing madya mangun karso” artinya pendidik harus bisa membangun karsa pada diri penerima didiknya; dan “tut wuri handayani” arinya bahwa sepanjang tidak berbahaya harus member kebebasan atau kesempatan kepada penerima didik untuk berguru mandiri.
Pendidkan mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. fungsi konservasi ini dilandasi perkiraan bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan norma, kebiasan-kebiasaan, dsbyang dijunngjung tingggi dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan.
Belum ada Komentar untuk "✔ Landasan Filosofis Pendidikan"
Posting Komentar