✔ Merehabilitasi Pendidikan Budpekerti Di Sekolah Dan Keluarga

Pendidikan Watak di Sekolah dan Keluarga ✔ Merehabilitasi Pendidikan Watak di Sekolah dan Keluarga
Kalau anak mendapat dasar-dasar training tabiat yang baik di keluarga, maka kiprah sekolah ialah memperkaya perbendaharaan norma-norma moralitas anak.
Mengapa pendidikan tabiat diabaikan di sekolah-sekolah kita selama ini?

Sebetulnya tidak diabaikan! Pendidikan tabiat dilaksanakan, tetapi caranya salah. Kita masih ingat kejadian yang belum usang terjadi, dimana siswa kelas 2 SD melaksanakan tindakan yang menjadikan meninggal temen dekatnya, atau info tawuran pelajar yang belum kunjung selesai, hingga mahasiswa yang kita bilang tokoh intelektual juga melaksanakan tawuran. Dari beberapa kejadian tersebut, niscaya yang disalahkan pihak sekolah. Sekolah dianggap tidak bisa membentuk tabiat anak, atau lebih ekstrim lagi ada yang bilang ini kegagalan pendidikan di sekolah-sekolah kita. Sebenarnya apa yang salah dari pendidikan tabiat disekolah kita.

Secara pedagogis pendidikan tabiat mempunyai dua aspek, yaitu (1) Pembinaan ketaatan terhadap norma-norma moralitas, dan (2) Pengembangan kepribadian (personality development).

Kedua aspek ini tidak sanggup dipisahkan, alasannya cara setiap insan menghimpun norma-norma moralitas dan melaksanakan norma-norma tadi tidak sanggup dipisahkan dari jenis keperibadian yang dimilikinya. Dan kepribadian ini ialah sesuatu yang tidak sanggup diubah begitu saja oleh orangtua atau pendidik. Seorang anak dengan tabiat pemberang dan ini ialah soal kepribadian atau personality tidak sanggup diubah begitu saja menjadi orang yang sabar. Yang sanggup dilakukan oleh orangtua dan guru ialah membimbing anak tadi untuk memahami dan menguasai dirinya, biar tabiat pemberang yang ada dalam dirinya tadi tidak dinyatakan dalam bentuk-bentuk sikap yang akan menciptakan dirinya terkucil dalam masyarakat.

Masyarakat dan sekolah pada umumnya lebih memperhatikan pendidikan tabiat dalam arti training ketaatan terhadap norma-norma moralitas. Para orangtua dan guru pada umumnya kurang memperhatikan problem pengembangan kepribadian yang ada dalam diri anak. Orangtua lebih sering bertanya berapa nilai yang didapatkan anak saya?, rangking berapa anak saya?, atau pesan-pesan yang umum yang disampaikan untuk banyak belajar. Jarang sekali orangtua bertanya mengapa sekolah tidak bisa menciptakan bawah umur saya mentaati norma-norma moralitas. Mereka jarang mempertanyakan, mengapa hanya bawah umur tertentu saja yang berhasil menyebarkan kepribadian mereka secara penuh dan bisa menjadi anak muda yang sosok kepribadiannya muncul dengan jelas, dan mereka menjadi bawah umur yang dikenal oleh lingkungannya. Kebanyakan bawah umur kita berubah menjadi anak muda dengan kepribadian yang kabur.

Tidak banyak orangtua yang menyadari, bahwa dasar-dasar ketaatan kepada norma-norma moralitas bahwasanya sudah mulai ditanamkan di rumah. Apa yang dilakukan sekolah ialah melanjutkan training tabiat yang sudah dimulai di lingkungan keluarga tadi. Kalau anak mendapat dasar-dasar training tabiat yang baik di keluarga, maka kiprah sekolah ialah memperkaya perbendaharaan norma-norma moralitas anak. Tetapi apabila training yang dilakukan di keluarga salah, maka sekolah harus terlebih dahulu memperbaiki atau mengoreksi kesalahan-kesalahan tadi, sebelum sanggup melanjutkannya dengan memperkenalkan norma-norma moralitas baru.

Anak yang oleh orangtua dibiarkan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya, tidak sanggup begitu saja dimbimbing untuk mentaati norma-norma sopan santun yang baru. Terlebih dahulu sekolah harus melatih anak tadi untuk menghilangkan kebiasaan mempergunakan kata-kata yang kurang senonoh tadi.

Kesalahan yang banyak dilakukan oleh sekolah kita ialah bahwa sekolah tidak berusaha mengetahui pendidikan tabiat yang telah diberikan orangtua di rumah. Kebanyakan sekolah beranggapan, bahwa anak di rumah telah mendapat dasar-dasar pendidikan tabiat yang benar, dan bahwa norma-norma moralitas yang dianut oleh para orangtua identik dengan norma-norma moralitas yang dianut oleh sekolah. Dan tidak pernah dilakukan perjuangan untuk menyelidiki kebenaran perkiraan ini.

Dalam hal pengembangan kepribadian, kelemahan yang terjadi di sekolah ialah bahwa kebanyakan guru tidak berusaha mengenal sosok kepribadian anak-anak. Yang mereka perhatikan ialah apakah bawah umur cukup menguasai bahan yang mereka ajarkan. Kaprikornus guru Pendidikan Kewarganegaraan, misalnya, lebih banyak mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan daripada mendidik anak. Pendidikan Kewarganegaraan tidak diperlakukan sebagai medium untuk turut membentuk kepribadian anak, tetapi semata-mata sebagai kumpulan pengetahuan akademik yang harus dikuasai anak. Pendidikan Kewarganegaraan kemudian menjadi beban mental, bukan alat intelektual.

Baca juga:Beberapa Gagasan Tentang Pendidikan Budi Pekerti

Akibat dari situasi sekolah menyerupai ini anak tidak mendapat kesempatan yang cukup luas untuk menyebarkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara bebas. Kurikulum yang seragam serta tidak adanya aktivitas ko-kurikuler yang cukup bermacam-macam menciptakan bawah umur berkembang secara seragam dan konformistik. Anak yang berbakat musik tidak mendapat kesempatan untuk menyebarkan bakatnya secara penuh dan menjadi pemain musik yang handal. Keberhasilan bawah umur tertentu menjadi pemain musik yang baik biasanya lebih merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman pendidikan yang mereka peroleh di luar sekolah.

Dengan situasi pendidikan menyerupai ini, tidaklah mengherankan bahwa dalam badan bangsa kita secara perlahan-lahan muncul generasi-generasi yang lebih banyak didominasi anggotanya ialah manusia-manusia yang kurang berwatak dan kurang berkepribadian.

Pelajaran apa yang sanggup kita tarik dari analisis ini?

Pertama, bahwa timbulnya generasi yang didominasi oleh pemimpin-pemimpin yang kurang tabiat dan kurang berkepribadian bukan salah sekolah semata-mata. Keluarga atau orangtua juga turut bersalah. Kalau kita benar-benar menginginkan lahirnya generasi gres yang berwatak dan lebih berkepribadian, maka harus ada kerjasama yang lebih erat antara keluarga dan sekolah. Sekolah harus berusaha mendapat informasi dari orangtua, dasar-dasar training tabiat apa saja yang telah diberikan kepada anak, serta apa ciri-ciri kepribadian yang dimiliki setiap anak. Sebaliknya keluarga harus membantu sekolah memperkokoh pola training tabiat yang dilakukan di sekolah. Antara keluarga dan sekolah dilarang terjadi konflik dalam norma-norma moralitas.

Kedua, Berdasarkan pengalaman kita selama ini kita sadari benar, tidak adanya teladan dan ketauladan dari tokoh-tokoh bangsa. Yang kita saksikan kini lahirnya pemimpin yang tidak berwatak dan kurang berkepribadian. Betapa berbahayanya membiarkan tampilnya pemimpin-pemimpin yang takut mencegah merosotnya sopan santun bangsa dan berani melaksanakan perbuatan-perbuatan korektif. Tidak terlampau salah rasanya jika dikatakan, bahwa segenap kesulitan bangsa yang kita alami kini ini ialah akhir dari lahirnya pemimpin bangsa yang kurang berwatak dan kurang berkepribadian tadi. Ini merupakan akhir dari kelengahan bangsa terhadap proses pengikisan sopan santun dan lunturnya pola-pola kepribadian yang menjadi idaman bangsa selama kurun waktu tertentu.

Ketiga, Guru berperan menumbuhkan tabiat anak dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam pembudayaan pendidikan akal pekerti di sekolah yaitu diajarkan wacana norma-norma moralitas, dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari, dilatih konsisten untuk mempertahankan kebaikan yang telah dilakukan dengan penuh tanggung jawab, menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan baik di sekolah maupun di rumah, menjadi aksara sehingga menjadi ciri kepribadiaan yang luhur , dan menjadi budaya yang menempel dalam kehidupan sehari-hari. Dan itulah puncak keberhasilan pembentukan tabiat anak.

Jadi, kita harus mulai lagi dari sendi-sendinya. Janganlah sekolah diperlakukan sebagai obyek kesalahan dalam mendidikan tabiat anak. Jangan pula sekolah dibiarkan bergelut seorang diri dalam perjuangan menegakkan sopan santun bangsa ini. Untuk itu sekolah harus dipulihkan menjadi forum pendidikan yang mempunyai otoritas moralnya sendiri dengan adanya kerjasama semua pihak, baik orangtua maupun pemerintah. Kapan memulainya? dari sekarang.

*) Ditulis oleh Anwar Mulyana, M.Pd. Kepala SDN 2 Nagri Kidul Purwakarta

Belum ada Komentar untuk "✔ Merehabilitasi Pendidikan Budpekerti Di Sekolah Dan Keluarga"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel